Bagaimana Jika Terjadi Sengketa Kepemilikan Rumah dan Tanah

Seringkali tanpa kita sadari, tanah yang ditempati ternyata menimbulkan permasalahan. Apabila terjadi sengketa tanah maka bagi yang memiliki tanah, sertifikat rumah tersebut akan digunakan sebagai bukti bahwa tanah itu miliknya. Dokumen sah berupa sertifikat bisa berfungsi untuk menciptakan ketertiban hukum pertanahan dan membantu mengakrifkan kegiatan perekonomian rakyat seperti digunakan sebagai jaminan. Karena sesuai dengan Undang-Undang bahwa adanya sertifikat menunjukkan bukti atas tanah yang telah terdaftar oleh badan resmi yang sah.

 

Pengeluaran sertifikat ini, menandakan bahwa adanya pendaftaran tanah yang dilakukan. Meskipun kenyataanya penerbitan sertifikat tanah masih bisa dipertanyakan keefektifannya dalam memberikan kepastian serta perlindungan hukum seperti kepastian bahwa sertifikat ini benar-benar bisa melindungi hak atau tanahnya atau hanya sekedar bukti fisik sertifikatnya saja. Karena ada kasus saat terjadi sengketa dan sertifikat dibawa ke pengadilan, sertfikatnya diakui secara formal namun ternyata tidak bisa melindungi subjek dan objeknya. Oleh karena itu Peradilan Tata Usaha bisa saja menolak untuk membatalkan sertifikat tanah, namun bagi peradilan umum menyatakan bahwa orang yang terdaftar dalam sertifikat tidak berhak lagi atas tanah yang disengketakan.

Sesuai dengan pasal 53 Undang-undang No 5 Tahun 1986 mengenai Peradilan Tata Usaha Negara yang menjadi objek adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sedangkan Sertifikat Hak atas Tanah yang berhak mengelurakan yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN). Jadi apabila ada sengketa tanah terhadap sertifikat hak atas tanah yang berwenang dalam memeriksa dan mengadili yaitu PTUN karena kompetensinya dibidang tersebut.  Dijelaskan pula dalam Pasal 55 UU No 5 Tahun 1986 bahwa gugatan dapat diajukan dalam kurun waktu 90 hari sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Apabila waktu yang ditentukan lebih dari 90 hari maka PTUN tidak bisa menerima lagi gugatan tersebut, sama halnya dengan Pengadilan Negeri maupun Pengadilan yang lainnya.

 

Apabila sudah masuk ke pengadlan, akan ada upaya yang dapat ditempuh jika ingi membatalkan hak atas tanah apabila ada seseorang yang merasa ketika penerbitannya mengalami cacat hukum administrasi.  Dalam Peraturan Menteri Agraria No 9 tahun 1999 Pasal 106 ayat 1 jo Pasal 119 ditegaskan jika keputusan pembatalan hak atas tanah dikarenakan adanya cacat hukum ketika menerbitkannya, oleh karena itu dapat dimohonkan karena permohonan dari yang berkepentingan. Sedangkan di pasal 106 ayat 1 jika ditemukan adanya cacat hukum administratif dalam proses penerbitan maka pembatalan hak atas tanah dapat dilakukan oleh pihak yang berwenang.  Apabila pengajuan ke BPN tidak ditanggapo, maka BPN dianggap telah mengeluarkan Penetapan Tertulis penolakan sehingga bisa diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dalam kurun waktu 90 hari.

Leave a Reply